Selasa, 22 April 2014

HAK CIPTA


          Setiap orang yang menciptakan karya tulis (karya ilmiah, program komputer, kesusasteraan, dsb.) dan karya artistik (drama, musik, film, dsb.) secara otomatis mendapatkan hak cipta. Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat internasional pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works.
          Hak cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Secara umum (terlepas dari isi perundang-undangan suatu negara), hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi meliputi hak untuk memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak moral terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film)1.
          Hak ekonomi dapat dipindah tangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa berlakunya, yaitu sampai sekian tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya meninggal dunia. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli warisnya, dan hal ini berlaku selamanya.
          Pada mulanya hak cipta, terutama hak ekonominya, diadakan untuk mendorong terjadinya penciptaan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh diharapkan dapat membantu pencipta untuk terus berkarya. Namun dalam perjalanannya, hak cipta, terutama atas karya ilmiah, ternyata menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyebaran dan perkembangan pengetahuan. Padahal dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy), kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah merupakan faktor penentu fun damental kemakmuran suatu bangsa2. Penciptaan pengetahuan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh penyebaran pengetahuan (seberapa cepat pengetahuan baru tersebar dan seberapa mudah diaksesnya).
          Tulisan ini membahas dampak negatif dari hak cipta (terutama hak ekonominya) terhadap penyebaran pengetahuan, dan cara mengatasinya. Karena penyebaran dan pengembangan pengetahuan terjadi dan dilakukan bersama-sama oleh semua ilmuwan yang pernah, sedang, dan akan hidup di dunia, maka pembahasan dilakukan secara umum, dan tidak dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan suatu negara. Pembahasan juga akan dilakukan dalam konteks penyebaran pengetahuan ilmiah yang juga melibatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
A.    HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN PENGETAHUAN
         Ada dua faktor yang membuat hak cipta karya ilmiah mengandung potential problems bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan siklus pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak langsung.
          Siklus pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis, kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan, menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih, membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali.
          Dalam pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi, menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu, Penciptaan Menulis Membaca Publikasi Akses pemberlakuan hak cipta yang berlebihan bisa menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
          Faktor kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah, karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya, pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit komersial.
          Penyebaran pengetahuan ilmiah mulai dari pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak pihak, yaitu pencipta (penulis), penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur (toko buku, perpustakaan, dsb.), dan pengguna.

PENULIS MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT  
          Di Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit, secara gratis atau hampir gratis (penulis hanya mendapat honor sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional, penulis bahkan harus membayar tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit. Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
          Ada beberapa kepentingan yang melatar belakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan hak cipta ke penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak mendapatkan keuntungan materi. Kepentingan penulis. Salah satu hal yang menyebabkan penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar persyaratan kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan oleh organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan reputasi mereka. Kepentingan penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan  tersebut. Untuk itu, penerbit meningkatkan kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk menolak atau menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa dari segi komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang sudah dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang tinggi.
          Kepentingan pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan pengguna pada saat ingin memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan, atau memperagakan (display) suatu karya cipta. Mereka tidak harus susah-payah menghubungi penulisnya yang biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan dengan alamat penerbit.
          Melihat uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya, terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi ini.
B.     PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI
          Di era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, publikasi, alih media, dan penyebaran informasi bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana saja. Selesai menulis, meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera menaruhnya di suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis bisa meminta masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan disiplin ilmu. Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja (tidak harus menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya, atau sesudah cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan setiap orang yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut melalui milis atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
          Praktek tersebut di atas, yang disebut dengan open access, sudah merupakan perkara biasa di dunia maya. Hal ini sudah terbukti mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay, & Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat kutipan (citation rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6. Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan antara lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun 2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun terbit7.
          Dengan bantuan teknologi, sepanjang tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi), percepatan penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung tidak hanya di dalam disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi ilmiah bisa berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin, hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
          Pertanyaannya sekarang adalah: apakah kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang oleh penulis maupun penerbit? Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti ’pedang bermata dua’ bagi penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri.
          Sebetulnya, pertanyaan yang mendasar adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak cipta yang jangka waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu pengetahuan menjadi kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan harga yang begitu tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen elektronik yang tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
          Sebetulnya, dasar pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis suatu karya ilmiah?
          Pengembangan ilmu pengetahuan merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup sejak dahulu sampai yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan senantiasa (harus) didasarkan pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun, suatu karya ilmiah jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada banyak pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium). Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan, misalnya, apalagi dengan menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan hasil bersama antara peneliti, anak jalanan (subyek penelitian), informan lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan oleh si peneliti dalam penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam seminar, dsb.).
1.      Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas hak moralnya. Dengan demikian siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan, dan menyebarkan suatu karya ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Dengan demikian, jalur penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan kendali penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan mengurangi proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun terhindari. Hak cipta jenis ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access (OA)
2.     Hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak eklusif  
Dalam hal ini, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang memegangnya (penulis maupun penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya) tersebut tidak berlaku eksklusif dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai dokumen yang bersangkutan, sepanjang tidak untuk tujuan komersial.
Dengan demikian, meskipun hak cipta sudah diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan leluasa memberikan hak ciptanya ke pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis juga bisa dengan bebas mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya, di mana saja dan kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama dilebih dari satu media sepanjang media-media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini, dan situasi ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga bisa memilih antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis atau melalui cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau rekan sekerja).
3.     Hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral, dan berlaku eksklusif bagi pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya hanya 1-2 tahun (tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’ demi pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu, maka hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.
4.     Pilihan diserahkan pada pemilik hak cipta  

Negara atau komunitas yang memilih pengaturan hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku komunikasi ilmiah memilih sendiri di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah adalah menyediakan aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus dengan tujuan untuk meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan yang bersangkutan.

Sumber:

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

                                                                          

1.      Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
   Benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Pengertian benda tersebut dikemukakan pada pasal 499 KUH Perdata. Prof. Mahadi menawarkan rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan kalimat sebagai berikut: “yang menjadi dapat menjadi obyek hak milik adalah benda dan benda itu terdiri dari barang dan hak.”
   Hak kekayaan intelektual adalah sebuah wilayah hukum yang menangani hak-hak yang berhubungan dengan hasil usaha kreatif manusia atau reputasi komersial dan goodwill. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atau Hak Milik Intelektual (HMI) atau harta intelek (di Malaysia) ini merupakan padanan dari bahasa Inggris Intellectual Property Right. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak eksklusif Yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Secara sederhana HAKI mencakup Hak Cipta, Hak Paten Dan Hak Merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda (Saidin : 1995), yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil). Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) termasuk dalam bagian hak atas benda tak berwujud (seperti Paten, merek, Dan hak cipta). Hak Atas Kekayaan Intelektual sifatnya berwujud, berupa informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan Dan sebaginya Yang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dalam hak cipta dikenal beberapa istilah yaitu:
a.  Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, cekatan, ketrampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
b.  Pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut.
c.      Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalamlapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.

2.   Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
      Hak kekayaan intelektual memiliki beberapa prinsip-prinsip. Berikut adalah prinsip-prinsipnya:
a.      Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya bedasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya.
b.     Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan prinsip ini HAKI memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada HAKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptanya.
c.      Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat berguna bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu, HAKI juga akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara.
d.     Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan prinsip ini, sistem HAKI memberikan perlindungan kepada pensipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan atau kesatuan itu saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi sosial dan lisensi wajib dalam undang-undang hak cipta Indonesia.

3.   Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual
  1. Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
  2. Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
  3. Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
  4. Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
  5. Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
  6. Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
  7. Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
  8. Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

4.   Pengakuan HAKI di Indonesia
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat industri atau yang sedang mengarah ke sana. Keberadaannya senantiasa mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan terlibat langsung dengan masalah HKI. Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai aspek lainnya. Namun aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan Intelektual.
Dengan adanya sebuah sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual yang integral dan mudah diakses oleh masyarakat, diharapkan tingkat permohonan pendaftaran Hak Kekayaan Indonesia di Indonesia semakin meningkat. Sedangkan dengan penegakan hukum secara integral (dimana termasuk di dalamnya Hak Kekayaan Intelektual), pelanggaran dalam bentuk pembajakan hasil karya intelektual yang dilindungi undang-undang akan semakin berkurang. Sinergi antara keduanya, sistem informasi Hak Kekayaan Intelektual dan penegakan hukum yang integral, pada akhirnya akan membawa bangsa Indonesia kepada kehidupan yang lebih beradab, yang menghormati hasil karya cipta orang lain.

5.   Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori yaitu:
1.      Hak Cipta
      Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar hukum yang mengatur tentang Hak Cipta adalah  UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hak cipta berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tidak perlu didaftarkan terlebih dahulu.
      UU Hak Cipta menyatakan bahwa untuk hak cipta yang masa berlakunya belum habis, tetapi pemilik hak cipta tersebut telah meninggal dunia, hak cipta tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya sampai masa berlakunya habis. Hak cipta terdiri dari beberapa Hak yaitu:
a.      Hak Moral
Hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
b.     Hak Ekonomi
Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaanHak ekonomi berhubungan dengan bisnis atau nilai ekonomis. contohnya: mp3, vcd, dvd bajakan. Selain merugikan secara moral, pembajakan dvd ini juga merugikan secara materiil si artis dan produser sendiri. Dimana mereka dalam memproses produksi albumnya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
2.   Hak Kekayaan Industry
Hak kekayaan industry (industrial property right) adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industry(industrial property right) berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri Tahun 1883 yang telah di amandemen pada tanggal 2 Oktober 1979, meliputi:
a.      Patent (Hak Paten)
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1). Paten diberikan dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam proses industri. Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa:
          1  .     Proses
          2.    Hasil Produksi
          3.    Penyempurnaan dan Pengembangan Proses
          4.    Penyempurnaan dan Pengembangan Hasil Produksi

b.     Trademark (Hak merek)
Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka- angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. (Pasal 1 Ayat 1). Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen.  Istilah – Istilah Merk:
1.   Merk Dagang
2.  Merk Jasa
3.  Merk Kolektif
4.  Hak atas Merk
c.      Industrial Design (Hak Produk Industri)
Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
d.     Trade Secret (Rahasaia Dagang)
Rahasia Dagang adalah Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Contohnya, resep suatu makanan dan minuman yang dimiliki suatu restaurant. Perlindungan atas rahasia dagang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (UURD) dan mulai berlaku sejak tanggal 20 Desember 2000. Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Daftar Pustaka