Setiap
orang yang menciptakan karya tulis (karya ilmiah, program komputer, kesusasteraan,
dsb.) dan karya artistik (drama, musik, film, dsb.) secara otomatis mendapatkan
hak cipta. Hak cipta pertama kali mendapat perlindungan di tingkat internasional
pada tanggal 9 September 1886 melalui Berne Convention for The Protection of
Literary and Artistic Works.
Hak
cipta terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Secara umum (terlepas dari isi perundang-undangan
suatu negara), hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk memperoleh
manfaat ekonomi dari karya ciptanya dan produk-produk terkait. Hak ekonomi
meliputi hak untuk memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi,
membuat pertunjukan, dan memperagakan (display) suatu karya cipta. Hak moral
terdiri dari paternity right (hak untuk diidentifikasi sebagai pengarang atau
direktur suatu karya), integrity right (hak untuk menolak perubahan atas suatu
karya), dan privacy right (hak pemanfaatan foto dan film)1.
Hak
ekonomi dapat dipindah tangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya
ke pihak yang lain lagi. Hak ekonomi ada masa berlakunya, yaitu sampai sekian
tahun (misalnya 50 tahun) sesudah penciptanya meninggal dunia. Hak moral tidak
dapat dipisahkan dari pengarangnya dan ahli warisnya, dan hal ini berlaku
selamanya.
Pada
mulanya hak cipta, terutama hak ekonominya, diadakan untuk mendorong terjadinya
penciptaan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh diharapkan dapat membantu pencipta
untuk terus berkarya. Namun dalam perjalanannya, hak cipta, terutama atas karya
ilmiah, ternyata menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyebaran dan perkembangan
pengetahuan. Padahal dalam era ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based
economy), kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah
merupakan faktor penentu fun damental kemakmuran suatu bangsa2. Penciptaan
pengetahuan itu sendiri juga sangat dipengaruhi oleh penyebaran pengetahuan (seberapa
cepat pengetahuan baru tersebar dan seberapa mudah diaksesnya).
Tulisan
ini membahas dampak negatif dari hak cipta (terutama hak ekonominya) terhadap penyebaran
pengetahuan, dan cara mengatasinya. Karena penyebaran dan pengembangan
pengetahuan terjadi dan dilakukan bersama-sama oleh semua ilmuwan yang pernah,
sedang, dan akan hidup di dunia, maka pembahasan dilakukan secara umum, dan
tidak dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan suatu negara. Pembahasan
juga akan dilakukan dalam konteks penyebaran pengetahuan ilmiah yang juga
melibatkan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi.
A.
HAMBATAN YANG DITIMBULKAN HAK CIPTA TERHADAP PENYEBARAN
PENGETAHUAN
Ada
dua faktor yang membuat hak cipta karya ilmiah mengandung potential problems bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama adalah karakter (nature) dari hak cipta itu
sendiri. Hak cipta memberikan pemegangnya hak untuk mempengaruhi keseluruhan
siklus pengetahuan, secara positif maupun negatif, langsung maupun tidak
langsung.
Siklus
pengetahuan dimulai dari penciptaan pengetahuan (melalui berpikir analitis,
kritis, konstruktif), perekaman (menulis), publikasi (mengumumkan,
menyebarkan), akses (pencarian dan penelusuran informasi), penggunaan (memilih,
membaca, mencatat), sampai ke penciptaan kembali.
Dalam
pelaksanaannya, setiap tahap tersebut, langsung maupun tidak langsung, bersinggungan
dengan hak cipta (hak ekonomi maupun moral). Misalnya, penciptaan bisa terjadi
kalau si pencipta mempunyai kemudahan akses ke sumber yang lengkap. Pada waktu
menulis (menyadur, menterjemahkan, memodifikasi, dsb.), penulis harus memperhatikan
hak cipta (hak ekonomi dan hak moral) penulis dokumen yang digunakannya. Pada
waktu publikasi karyanya, penulis harus memperhatikan sejauh mana dia akan
melepaskan hak ekonominya dan apa konsekuensinya. Pada waktu publikasi karya
orang lain, seseorang harus memperhatikan sejauh mana dia boleh memfotokopi,
menyediakan ’link’ ke karya tersebut. Demikian seterusnya. Karena itu, Penciptaan
Menulis Membaca Publikasi Akses pemberlakuan hak cipta yang berlebihan bisa
menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.
Faktor
kedua yang bisa meningkatkan potensi masalah yang ditimbulkan oleh hak cipta adalah,
karena penulis dan pengguna karya ilmiah seringkali adalah individu yang sama. Akibatnya,
pelaksanaan hak cipta memberi dampak ‘pedang bermata dua’ pada mereka, bukan
hanya dalam kasus pemanfaatan karya orang lain, tetapi juga karya sendiri; baik
pada waktu hak itu dipegang sendiri dan terlebih lagi bila diserahkan ke penerbit
komersial.
Penyebaran
pengetahuan ilmiah mulai dari pencipta sampai ke pengguna melibatkan banyak
pihak, yaitu pencipta (penulis), penerbit (termasuk secondary publisher), penyalur
(toko buku, perpustakaan, dsb.), dan pengguna.
PENULIS MENYERAHKAN HAK CIPTA KE PENERBIT
Di
Indonesia, penulis artikel jurnal biasanya menyerahkan hak ciptanya kepada
penerbit, secara gratis atau hampir gratis (penulis hanya mendapat honor
sekadarnya). Di negara maju, terutama untuk jurnal ilmiah bereputasi internasional,
penulis bahkan harus membayar tidak sedikit (dalam rupiah) untuk setiap artikel
yang dimuat di jurnal tersebut, meskipun hak ciptanya diserahkan ke penerbit.
Dalam hal buku, biasanya penulis mendapat royalti dari penyerahan hak ciptanya.
Ada
beberapa kepentingan yang melatar belakangi praktek tersebut di atas, sehingga penyerahan
hak cipta ke penerbit bisa berlangsung sampai sekarang meskipun si penulis tidak
mendapatkan keuntungan materi. Kepentingan penulis. Salah satu hal yang menyebabkan
penulis dengan mudah menyerahkan hak ciptanya kepada penerbit adalah karena
mereka (dosen, peneliti, mahasiswa, dsb.) umumnya lebih mementingkan penyebaran
karyanya seluas-luasnya, daripada manfaat ekonominya. Di samping itu, ada
keharusan untuk menerbitkan buku dengan ISBN atau di jurnal yang mempunyai
reputasi (scholarly journal, terutama yang peer-reviewed) agar persyaratan
kenaikan pangkat (sebagai peneliti atau dosen) yang diberlakukan oleh
organisasi induknya dapat dipenuhi. Penerbitan ini juga untuk meningkatkan
reputasi mereka. Kepentingan penerbit. Penerbit mempunyai kepentingan untuk
menyebarkan suatu karya sambil mendapatkan keuntungan materi dari kegiatan tersebut. Untuk itu, penerbit meningkatkan
kualitas isi dan tampilan suatu tulisan, dan mendistribusikannya dalam jumlah
besar dan cakupan geografis yang luas. Penerbit meningkatkan kualitas suatu
karya dengan cara menyediakan peer reviewer, editor, perancang layout dan
sampul depan, dsb. Dengan demikian, mereka mempunyai modal (power) untuk
menolak atau menerima suatu karya untuk diterbitkan. Pertimbangan penerbit bisa
dari segi komersial dan/atau mutu. Penerbit bahkan bisa meminta penulis yang
sudah dikenal untuk menulis topik yang menurut mereka mempunyai nilai jual yang
tinggi.
Kepentingan
pengguna. Penyerahan hak cipta ke penerbit memudahkan pengguna pada saat ingin
memperbanyak, mendistribusi, menterjemahkan, membuat adaptasi, membuat pertunjukan,
atau memperagakan (display) suatu karya cipta. Mereka tidak harus susah-payah
menghubungi penulisnya yang biasanya alamatnya lebih sulit diperoleh dibandingkan
dengan alamat penerbit.
Melihat
uraian di atas, nampaknya tidak ada permasalahan yang ditimbulkan oleh penyerahan
hak cipta kepada penerbit. Apakah demikian? Ternyata tidak demikian kenyataannya,
terutama kalau hal ini dilihat dari akumulasi pengetahuan yang sudah berlangsung
begitu lama, dan melibatkan penulis yang pernah, sedang dan akan hidup di muka bumi
ini.
B.
PENERAPAN HAK CIPTA DI ERA KEMAJUAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
DAN INFORMASI
Di
era kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ini, publikasi, alih media, dan
penyebaran informasi bisa dilakukan dengan mudah oleh siapa saja dan ke mana
saja. Selesai menulis, meskipun baru berupa draft pertama, penulis dapat segera
menaruhnya di suatu situs, webblog, ataupun milis. Melalui sarana ini, penulis
bisa meminta masukan dari pembaca yang berasal dari pelbagai bangsa dan
disiplin ilmu. Penulis dengan mudah bisa merevisi publikasinya, kapan saja
(tidak harus menunggu sampai karya tersebut beredar selama 1 tahun misalnya,
atau sesudah cetakan pertamanya habis terjual). Di samping itu, penulis dan
setiap orang yang mengetahuinya, dapat menyebarkan alamat dokumen tersebut
melalui milis atau email pribadi. Dokumen tersebut pun dengan mudah dapat
dimanfaatkan oleh siapa saja.
Praktek
tersebut di atas, yang disebut dengan open access, sudah merupakan perkara biasa
di dunia maya. Hal ini sudah terbukti mempercepat penyebaran dan pemanfaatan karya
ilmiah. Menurut Sahu, Gogtay, & Bavdekar (2005), open access memperbaiki tingkat
kutipan (citation rates) di bidang fisika, matematika, dan astronomi6.
Penelitian mereka terhadap sebuah jurnal multi-disiplin yang mengadopsi open
access (OA) setelah 10 tahun terbit (setelah tahun 2000), menemukan antara
lain, bahwa tidak satu pun artikel yang dipublikasikan sebelum OA dikutip pada
tahun terbit. Sebaliknya, artikel yang dipublikasikan setelah OA, yaitu tahun
2002, 2003, dan 2004, dikutip 3, 7, dan 22 kali berturut-turut pada tahun
terbit7.
Dengan
bantuan teknologi, sepanjang tidak dibatasi oleh hak cipta (terutama hak ekonomi),
percepatan penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan bisa dengan mudah berlangsung
tidak hanya di dalam disiplin ilmu yang sama, tetapi juga lintas disiplin. Kolaborasi
ilmiah bisa berlangsung dengan mudah secara lintas batas geografi, waktu, disiplin,
hirarkhi sosial, dan budaya. Kemudahan ini sangat mempercepat perkembangan ilmu
pengetahuan.
Pertanyaannya
sekarang adalah: apakah kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi ini harus dihambat oleh hak cipta baik yang dipegang
oleh penulis maupun penerbit? Apalagi penerapan hak cipta bisa berdampak seperti
’pedang bermata dua’ bagi penulis dan pengguna, bukan hanya dalam kasus pemanfaatan
karya orang lain, tetapi juga karya sendiri.
Sebetulnya,
pertanyaan yang mendasar adalah apakah masih dapat dibenarkan pemberlakuan hak
cipta yang jangka waktunya begitu lama kalau memang perkembangan ilmu
pengetahuan menjadi kepedulian utama semua pihak? Apalagi sampai memberlakukan
harga yang begitu tinggi untuk lisensi setiap tahun per pengguna untuk dokumen
elektronik yang tidak dapat diakses lagi pada saat sudah tidak dilanggan.
Sebetulnya,
dasar pemberlakuan hak cipta adalah bahwa penulis perlu mendapat insentif untuk
keorisinilan karyanya. Namun pertanyaannya adalah: siapakah sesungguhnya penulis
suatu karya ilmiah?
Pengembangan
ilmu pengetahuan merupakan usaha kolektif yang melibatkan ilmuwan yang hidup
sejak dahulu sampai yang akan datang, karena pengembangan pengetahuan senantiasa
(harus) didasarkan pada penemuan-penemuan terdahulu. Dalam kenyataannya pun,
suatu karya ilmiah jarang merupakan karya murni (utuh) penulisnya. Di dalamnya ada
banyak pemikiran orang lain. Mungkin hanya sekian persen saja dari suatu karya merupakan
hasil dari penulisnya (kecuali hasil penelitian yang berdasarkan eksperimen di laboratorium).
Hasil penelitian tentang gaya hidup anak jalanan, misalnya, apalagi dengan
menggunakan metode kualitatif, sebenarnya merupakan hasil bersama antara peneliti,
anak jalanan (subyek penelitian), informan lainnya, dan penulis yang karyanya digunakan
oleh si peneliti dalam penelitiannya. Dalam kenyataannya juga, bahkan pengguna
turut memberikan sumbangan pemikiran dalam penerbitan suatu karya (dengan cara
memberikan opini secara lisan maupun tertulis, melalui Internet atau dalam
seminar, dsb.).
1.
Hak cipta direduksi menjadi hak moral
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di
atas adalah pemberlakuan hak cipta hanya sebatas hak moralnya. Dengan demikian
siapa pun bisa mereproduksi, mengalihmediakan, dan menyebarkan suatu karya
ilmiah, sepanjang bukan untuk tujuan komersial. Dengan demikian, jalur
penyebaran informasi bisa lebih dipersingkat dengan memindahkan kendali
penyebaran karya ilmiah dari penerbit ke penulis dan masyarakat, dan mengurangi
proses publikasi yang lama dan biaya yang mahal. Monopoli hak cipta pun
terhindari. Hak cipta jenis ini sudah diberlakukan oleh gerakan Open Access
(OA)
2.
Hak cipta diberlakukan secara utuh tetapi tidak
eklusif
Dalam hal ini, hak cipta tetap mengandung hak
ekonomi dan hak moral. Namun siapapun yang memegangnya (penulis maupun
penerbit), hak cipta (terutama hak ekonominya) tersebut tidak berlaku eksklusif
dan dapat digunakan oleh siapa saja yang mempunyai dokumen yang bersangkutan,
sepanjang tidak untuk tujuan komersial.
Dengan demikian, meskipun hak cipta sudah
diserahkan ke penerbit, penulis bisa dengan leluasa memberikan hak ciptanya ke
pihak lain lagi dengan atau tanpa royalti. Penulis juga bisa dengan bebas
mereproduksi, mengalihmediakan, dan mendistribusikan karyanya, di mana saja dan
kapan saja. Penulis dapat menerbitkan karya yang sama dilebih dari satu media
sepanjang media-media tersebut tidak berkeberatan mengenai hal ini, dan situasi
ini dinyatakan dengan jelas di dalam publikasinya. Konsumen juga bisa memilih
antara mendapatkan akses suatu karya melalui penerbit atau penulis atau melalui
cara lain (misalnya dengan memfotokopi dari perpustakaan atau rekan sekerja).
3.
Hak cipta diberlakukan secara utuh dan eksklusif
tetapi dalam jangka waktu yang terbatas
Yang dimaksudkan dengan hal ini adalah, hak
cipta tetap mengandung hak ekonomi dan hak moral, dan berlaku eksklusif bagi
pemegangnya, namun jangka waktu berlaku hak ekonominya hanya 1-2 tahun
(tergantung sejauh mana perkembangan pengetahuan akan ’dihambat’ demi
pengumpulan keuntungan ekonomi). Sesudah jangka waktu tersebut berlalu, maka
hak cipta utuh namun tidak eksklusif yang berlaku (lihat no. 2). Dengan perkataan
lain, monopoli hak cipta hanya terjadi dalam waktu yang sangat terbatas.
4.
Pilihan diserahkan pada pemilik hak cipta
Negara atau komunitas yang memilih pengaturan
hak cipta jenis ini, membiarkan para pelaku komunikasi ilmiah memilih sendiri
di antara 3 pilihan tersebut di atas. Tugas pemerintah adalah menyediakan
aturan permainannya. Pilihan apa pun yang diambil harus dengan tujuan untuk
meningkatkan kecepatan perkembangan dan mutu ilmu pengetahuan yang
bersangkutan.
Sumber: